HIKAYAT BUMOE BREUEH SIGUPAI: DARI
KESATRIA KE ABDYA
Oleh
: Rozal Nawafil
Tanggal 10
April merupakan momen bersejarah bagi Kabupaten Aceh Barat Daya. Dua dasawarsa
yang lalu pada Rabu, 10 April 2002, Kab. Aceh Barat Daya resmi dimekarkan dari
Kab. Aceh Selatan melalui UU No. 4 Tahun 2002. Tahun ini, kabupaten yang sering
disingkat ABDYA ini memperingati Hari Jadi nya yang ke-20 tahun.
Di usianya
yang ke-20 tahun, ABDYA telah melewati perjalanan penyelenggaraan pemerintahan
dan berbagai pembangunannya dengan penuh suka maupun duka. Proses tersebut
dilakukan dan dilalui seluruh stakeholder dan masyarakat ABDYA dengan semangat
kesatuan dan kebersamaan sesuai motto ABDYA “Sapeue Kheuen Sahou Langkah”
(Seiya Sekata Melangkah Bersama).
Sebelum
berdiri sebagai kabupaten otonom, kelahiran ABDYA diawali proses panjang
sejarah perjuangan para kesatria, pendiri dan pejuang pengembangan ABDYA sejak
masa awal hadirnya koloni atau komunitas masyarakat di wilayah ini. Tulisan
yang lengkap membahas hal ini salah satunya adalah buku Negeri Dan Rakyat Aceh
Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah (2009). Tinta emas proses inilah yang
tertarik kami angkat kembali dalam momentum HUT ABDYA ke-20 untuk dibagikan
kepada publik sebagai apresiasi kepada para kesatria, pendiri dan pejuangan
pengembangan ABDYA serta menjadi inspirasi dan motivasi bagi pemuda dan pemudi
ABDYA saat ini dan di masa mendatang.
BUMOE BREUEH SIGUPAI SEBELUM KEMERDEKAAN RI
Sebelum
perang dunia, wilayah ABDYA dulunya merupakan lintasan wilayah barat Kesultanan
Aceh yang dipimpin oleh tiap-tiap uleebalang sebagai penerima kekuasaan
langsung dari Sultan Aceh. Wilayah barat
Kesultanan Aceh ini mulai dibuka pada Abad ke-16 M di masa pemerintahan Sultan
Saidil Mukamil (1588-1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie ke pesisir
barat Aceh. Kemudian sejak tahun 1665 M, terjadi pula migrasi penduduk Minang
dari Pariaman; Rao, Pasaman; Kampar dan wilayah lainnya di Minangkabau Darul
Qarar ke pesisir barat selatan Aceh Darussalam akibat terjadinya Traktat Painan
antara Penghulu Adat Minangkabau dengan VOC di tahun 1662 M. Hal ini membuat
orang Minang yang tidak mau tunduk dengan Belanda dan keturunan hulubalang Aceh
yang sebelumnya mengontrol Pariaman berdiaspora ke pesisir barat selatan Aceh
bersamaan dengan kedatangan para petani dan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie
ke wilayah ini.
Akibat
diaspora tersebut, terbentuklah dua koloni atau entitas kesukuan yang tersebar
di wilayah ini yaitu Suku Aceh dan Suku Aneuk Jamee (bahasa Aceh: Tetamu; dari
Minangkabau). Koloni tersebut membangun komunitas mereka terutama pada daerah
pesisir khususnya muara-muara sungai setempat seperti Lama Tuha, Kuala Batu,
Susoh, Suak, Lhok Pawoh dan Pasi Manggeng. Setelah itu untuk mengontrol dan
menyatukan masyarakat di wilayah itu, Sultan Aceh mengangkat sedikitnya 5
uleebalang di wilayah ini yaitu uleebalang Susoh, Kuala Batee, Blangpidie,
Tangan-Tangan (Lhok Pawoh Utara) dan Manggeng serta beberapa uleebalang cut
seperti Bak Weu (Lembah Sabil), Pulau Kayu dan lain-lain.
Setelah
ditandatanganinya Korte Verklaring antara beberapa uleebalang dengan Belanda
pada 24 Februari 1874, wilayah yang saat ini merupakan wilayah ABDYA dimasukan
oleh Belanda ke dalam bagian Gouvernement Atjeh en Onderhoorigheden (Pemerintah
Aceh dan Bawahannya). Wilayah ini saat itu secara administratif berada di bawah
afdeling Westkust van Atjeh (Kabupaten Aceh Barat: ibukotanya Meulaboh) dan
termasuk wilayah pengawasan (controlegebied) dari onderafdeling (kewedanan)
landschap Tapa Toean (Tapaktuan).
Wilayah
ABDYA pada masa Hindia Belanda, terdiri dari beberapa zelfbesturende
landschaapen (kecamatan yang dipimpin uleebalang dengan otonomi) yaitu Kuala
Batu, Susoh, Blang Pidie (Blang Pedir), Lhok Pawoh Utara dan Manggeng. Di zaman
penjajahan Jepang, struktur wilayah administratif tidak berubah kecuali
penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeling menjadi Bunsyu,
Onderafdeling menjadi Gun dan Landschap menjadi Son. Wilayah Afdeling Westkust
van Atjeh pada masa pemerintahan Jepang disebut Nishi-Aceh Bunsyu (Kabupaten Aceh
Barat).
BUMOE BREUEH SIGUPAI PASCA KEMERDEKAAN RI
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Daerah (BPKNID) melakukan rapat pada 5 Desember 1945 di rumah Controleur
(Wedana) Tapaktuan untuk membahas tuntutan adanya Kabupaten Aceh Selatan yang
terpisah dari Kabupaten Aceh Barat. Kemudian dikeluarkan Keputusan Gubernur
Sumatera No. 70 tanggal 28 Desember 1945 dan diumumkan kembali pada tanggal 15
Januari 1946 tentang pembagian Keresidenan Aceh menjadi 7 Luhak (Wilayah) yaitu
Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh
Selatan. Aceh Selatan saat itu beribukota di Tapaktuan.
Tidak lama
setelah itu muncul ide untuk memindahkan ibukota kabupaten dari Tapaktuan ke
Blangpidie. Pemindahan ini didasari atas faktor politik, ekonomi, budaya dan
pendidikan. Apalagi daerah Blangpidie sejak dulu sudah berkembang pesat dan
maju dalam sektor perdagangan seperti yang tersirat dalam lagu berjudul Aceh
Selatan yang dinyanyikan oleh Syah Loetan, “Naksu
Mita Peng Jak U Blangpidie, Naksu Meutani U Geunang Jaya” (Kalau mau cari
uang datang ke Blangpidie, kalau mau bertani datang ke Geunang Jaya, Babahrot).
Upaya pemindahan ibukota Aceh Selatan ke Blangpidie untuk sementara berhasil
dilakukan. Pada tahun 1948, ditetapkanlah Blangpidie sebagai ibukota alternatif
untuk Kab. Aceh Selatan. Hal itu ditandai dengan dipindahkan beberapa kantor
dan fasilitas lainnya dari Tapaktuan ke Blangpidie termasuk pemancar
telekomunikasi dan berbagai sarana lainnya. Namun, setelah agresi militer
Belanda pada tahun 1949, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatera Utara
memutuskan untuk memindahkan kembali ibukota Aceh Selatan dari Blangpidie ke
Tapaktuan.
Setelah
itu, upaya pemindahan ibukota Aceh Selatan ke Blangpidie kembali berkembang
lebih jauh hingga muncul usulan agar wilayah Blangpidie dan sekitarnya
dijadikan satu kabupaten baru. UU Drt No. 7 Tahun 1959 dan UU No. 24 Tahun,
membagi wilayah Aceh Selatan ke dalam tiga wilayah kerja Asisten Wedana
(Pembantu Bupati) yaitu Blangpidie, Bakongan, dan Singkil. Asisten Wedana
Blangpidie, membawahi lima Kecamatan, yaitu Kuala Batee, Susoh, Blangpidie,
Tangan-Tangan, dan Manggeng.
Asisten
Wedana Blangpidie saat itu Raden Soepeno mendukung dan berupaya kembali
memekarkan wilayahnya menjadi satu kabupaten baru. Nama awal Kabupaten yang
diusulkan ke pemerintah saat itu adalah "Kabupaten Kesatria". Nama
ini diputuskan dalam rapat panitia dan tokoh masyarakat dari 6 kecamatan yang
dipimpin oleh Tgk. M. Saleh Kapa. Nama Kesatria ini didasarkan pada upaya keras
perjuangan pembentukan kabupaten ini yang sebelumnya sempat luruh pada awal
tahun 1950-an dan baru muncul kembali pada tahun 1960-an.
Pada
tanggal 10 November 1965 dibentuk panitia penuntut Dati II ‘Kesatria’ yang
diketuai oleh R. Soepeno untuk memperjuangkan wilayah 6 kecamatan yaitu Kuala
Batee, Susoh, Blangpidie, Tangan-Tangan, Manggeng dan Darul Makmur (kecamatan
dalam wilayah Aceh Barat yang sekarang masuk dalam wilayah Kab. Nagan Raya)
untuk dijadikan kabupaten baru dengan nama Kabupaten Kesatria.
Namun
setelah keluarnya SK Bupati Aceh Selatan No. 13/111/1968 pada 18 Oktober 1968
yang menetapkan lima kecamatan (Manggeng, Tangan-Tangan, Blangpidie, Susoh dan
Kuala Batee) menjadi Daerah Perwakilan Aceh Selatan dengan Ibukotanya
Blangpidie, nama usulan nama kabupaten Kesatria diubah menjadi "Aceh Barat
Daya" serta Darul Makmur dikeluarkan dari rencana wilayah kecamatan di
Kab. Aceh Barat Daya.
Pada 2
April 1968, DPRDGR Kab. Aceh Selatan menerima dan mendukung sepenuhnya tuntuan Panitia
Penuntut Kab. Aceh Barat Daya. Lalu, pada 5 Juni 1969, DPRDGR Kab. Aceh Selatan
merekomendasikan kepada Pemerintah D.I. Aceh untuk mengukuhkan lima kecamatan
dalam bekas asisten wedana Blangpidie menjadi Perwakilan Kabupaten Aceh Selatan
di Blangpidie. Pada tanggal 6 Juni 1969, Gubernur D.I. Aceh mengukuhkan lima
kecamatan tersebut menjadi Perwakilan Kab. Aceh Selatan yang dikepalai oleh
seorang Pejabat Penata Praja sebagai Pembantu Bupati Aceh Selatan Wilayah
Blangpidie.
Di tahun
1970-an hingga berakhirnya era orde baru, upaya pembentukan ABDYA masih terus
digaungkan namun tidak terlalu intens bahkan cenderung redup. Upaya ini baru
intens kembali pasca reformasi. Pada 3 Maret 1999, Pembantu Bupati Aceh Selatan
Wilayah Blangpidie membentuk Panitia Lokal Peningkatan Status Wilayah Kerja
Pembantu Bupati Aceh Selatan Wilayah Blangpidie menjadi Kab. Aceh Barat Daya.
Untuk mendukung segera ABDYA lahir, pada tanggal 1-2 Mei 1999 diadakan
Lokakarya (Workshop) tentang Profil dan Potensi Wilayah Calon Kab. Aceh Barat
Daya di Blangpidie. Pada 2 Mei 1999, tokoh-tokoh masyarakat, ulama, dan tokoh
pemuda mengeluarkan Pernyataan Sikap di lima Kecamatan tentang keinginan
membentuk kabupaten otonom.
Setelah
itu, pada 22 Mei 1999, Gubernur D.I. Aceh membentuk Tim Pembinaan Peningkatan
Status Lembaga Dekonsentrasi dan Desentralisasi untuk melakukan pengkajian
terhadap rencana membentuk kabupaten baru. Lalu pada 1 Juni 1999 Bupati Aceh
Selatan, merekomendasikan kepada Gubernur NAD tentang peningkatan status
Pembantu Bupati Wilayah Blangpidie. Pada 12 Juli 1999, DPRD Kab. Aceh Selatan
menyetujui peningkatan status Pembantu Bupati Aceh Selatan Wilayah Blangpidie
menjadi Kab. Aceh Barat Daya. Pada 19 Februari 2000, Gubernur NAD kembali
mengusulkan kepada Mendagri agar menyegerakan pembentukan Kab. Aceh Barat Daya.
Hingga akhirnya pada 10 April 2002 diterbitkan UU No. 4 tahun 2002 yang berisi
tentang pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya yang awalnya terdiri dari 6
kecamatan yaitu Kecamatan Babahrot, Kuala Batee, Susoh, Blangpidie,
Tangan-Tangan dan Manggeng. Saat ini kecamatan di Aceh Barat Daya berjumlah 9
kecamatan setelah dibentuknya Kecamatan Jeumpa, Kecamatan Setia dan Kecamatan
Lembah Sabil.
Pada 8
Ramadhan 1443 H ini, Kabupaten Aceh Barat Daya genap berusia 2 dasawarsa.
Sejarah pasang surut perjuangan pembentukan dan pembangunan ABDYA hingga saat
ini menunjukkan semangat Rakyat ABDYA dalam menghadirkan kemandirian dan
kesejahteraan di Bumoe Breuh Sigupai. Dalam momentum ramadhan ini kita berharap
semoga ke depan semangat Sapeue Kheuen
Sahou Langkah terus digelorakan oleh generasi penerus sehingga cita-cita
bersama mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur diridhai oleh Allah
SWT. Dirgahayu ABDYA.
***
Rozal
Nawafil adalah Pemuda asal Blangpidie, Aceh Barat Daya; Praja Utama atau
Mahasiswa Tingkat Akhir pada Prodi Manajemen SDM Sektor Publik Fakultas
Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
0 Komentar